Jakarta, Vox News Media– Pejabat korupsi? Sudah biasa. Aparat korupsi? Juga sudah biasa. Wartawan korupsi? Ini baru luar biasa! Dan, ketika pejabat dan aparat menyatu dengan wartawan berkolusi melakukan korupsi, cepat atau lambat negara ini dipastikan akan hancur binasa.
Kasus PWI Cashback yang tertangkap basah oleh kalangan wartawan beberapa bulan lalu adalah kotak pandora yang membuka mata rakyat, yang menjadi jawaban atas pertanyaan: makin gencar kampanye anti korupsi, tapi mengapa korupsi makin meraja-lela? Jawabannya, karena wartawan ikut korupsi uang rakyat melalui berbagai modus dan bermacam varian.
Kasus (dugaan?) korupsi di kalangan wartawan yang tertangkap basah, yang melibatkan para dedengkot koruptor PWI, Hendry Ch. Bangun, Sayid Iskandarsyah, Muhammad Ihsan, dan Syarif Hidayatullah, hanyalah ibarat puncak gunung es. Persoalan dan volume korupsi di dunia pers yang tidak terlihat di permukaan jauh lebih besar, bahkan maha besar dari yang bisa dibayangkan publik. Praktek ini sudah berlangsung lama, bahkan di kalangan organisasi PWI dan konstituen dewan pers lainnya, hal itu nyaris menjadi budaya internal dan dianggap sudah biasa, dari pusat hingga ke daerah-daerah.
Mengapa tidak terendus publik dan atau aparat? Bagaimana mungkin para wartawan yang terlibat praktek kolusi-koruptif dengan para pejabat dan aparat akan memberitakan kasus korupsi yang melibatkan dirinya sendiri? Bunuh diri namanya! Dus, bagaimana mungkin aparat akan mampu mengendus praktek nista semacam itu, sementara mereka sendiri ada dalam kubangan perilaku korup yang sama dengan para wartawan itu? Bunuh diri juga namanya!
Lihat saja buktinya, saya terangkan pelan-pelan ya. Kasus korupsi uang rakyat, yakni dana hibah BUMN yang dikucurkan ke organisasi pers Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang disinyalir terjadi di kurun waktu Desember 2023 hingga Maret 2024, dikenal sebagai PWI Gate dan PWI Cashback. Disebut PWI Gate karena kasus itu melibatkan para pengurus pusat PWI, Hendry Ch. Bangun, cs. Disebut PWI Cashback karena dana yang dikorupsi sebesar lebih dari Rp. 1,7 miliar dikatakan untuk cashback yang harus disetorkan ke pejabat di Kementerian BUMN.
Pada tanggal 13 Mei 2024, dengan penuh semangat anti korupsi, kasus tersebut dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DPN PPWI). Karena begitu semangatnya, salinan berkas laporan disertai lampiran dokumen dan bukti awal dugaan tindak pidana korupsi oleh Hendry Ch. Bangun, dan kawan-kawannya, ke KPK itu juga dikirimkan ke Presiden, Kementerian/Lembaga, MPR/DPR/DPD RI, Kejagung, Kapolri, Mahkamah Agung, dan ribuan instansi pemerintah yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di semua provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
Hasilnya? KPK mengatakan belum cukup bukti terjadinya tindak pidana korupsi di kasus PWI Cashback itu. KPK mungkin beranggapan penggarongan uang rakyat yang hanya 1,7 miliar bukan nominal yang cukup untuk dirampok oleh para pegawai yang akan menjaga para terduga koruptor Hendry Ch. Bangun dan pejabat BUMN jika mereka ditahan di Rutan KPK, sebagaimana perilaku koruptif memeras tahanan yang sudah menjadi keseharian para pegawai di Gedung Merah Putih KPK tersebut. Penanganan laporan itu kini tidak jelas ujung akhirnya.
Merespon laporan yang sama, Mabes Polri juga tidak kalah buruknya. Dalam surat Pemberitahuan Hasil Telaah Dumas tertanggal 18 November 2024 yang dikirimkan ke Sekretariat PPWI Nasional, Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dirtipidkor) Bareskrim Polri mengatakan bahwa dana hibah yang disalurkan oleh BUMN ke PWI itu sudah sesuai dengan peraturan Menteri BUMN nomor sekian. Persoalan utamanya bukan pada masalah penyaluran dananya bossqu… Tapi cashback alias uang garongan dari dana hibah itu yang diambil secara ilegal untuk kepentingan pihak tertentu di BUMN dan atau para pengurus PWI, itulah yang harus diusut tuntas bos ku.
Lebih konyol lagi, alasan Dirtipidkor untuk tidak memproses kasusnya adalah karena pengurus pusat PWI, yakni Hendry Ch. Bangun, Sayid Iskandarsyah, Muhammad Ihsan, dan Syarif Hidayatullah, telah diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan PWI. Bagaimana mungkin persoalan tindak pidana penggarongan uang rakyat diselesaikan dengan pemberian sanksi di internal organisasi PWI? Mana otak? Mana otak woy? Sehatkah Anda wahai para Jenderal di Mabes Polri sana?.
Kolaborasi koruptif yang tercipta di antara para wartawan dengan jajaran pejabat dan aparat di seantero negeri selama ini merupakan penyakit kanker kronis yang membuat korupsi tumbuh subur tak terbendung. Jangankan mengendus dan menangkap para koruptor, rakyat berbodong melaporkan koruptor ke kantor aparat hukum pun tidak bakal diproses sebagaimana mestinya. Benarlah kata pepatah: sesama busway dilarang saling mendahului, sesama pelaku korupsi harus saling melindungi.
Melihat fakta-fakta di atas itu, akhirnya kita berkesimpulan bahwa pemberantasan korupsi hampir mustahil berhasil jika kita membiarkan dunia jurnalisme Indonesia tidak berbenah. Pemerintah semestinya segera turun tangan memperbaiki kondisi pers di negeri ini, terutama dalam menangani keterlibatan para wartawan dalam lingkaran mafia garong uang rakyat di berbagai BUMN/BUMD, Kementerian/Lembaga, dan instansi pemerintahan di pusat dan daerah.
Walau demikian, yang justru harus berperan utama dalam pembenahan jurnalisme yang semakin buruk akibat keterlibatan pekerja pers dalam kasus korupsi ini adalah para wartawan itu sendiri. Upaya menciptakan budaya anti korupsi harus dimulai dari diri para pelakon jurnalisme. Hal itu hanya dapat diwujudkan dari kesadaran para jurnalis untuk kembali ke jati diri dan hakikat jurnalisme yang mendasari aktivitas jurnalistik.
Mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), yang merumuskan sejumlah prinsip dalam jurnalisme, terdapat beberapa prinsip dasar yang semestinya menjadi pegangan setiap jurnalis. Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Poin ‘kebenaran’ adalah esensi terpenting dari sebuah informasi yang wajib menjadi roh kerja-kerja jurnalisme. Setiap informasi yang akan diberitakan, seorang (wartawan, pewarta warga, warganet, masyarakat umum siapa pun) harus memastikan bahwa informasi tersebut betul-betul benar, alias bukan kebohongan, bukan dusta, bukan rekayasa. Prinsip jurnalisme kebenaran hanya dapat dilakukan seseorang pada kondisi tanpa dibebani kepentingan tertentu.
Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada kepentingan warga (publik). Kerja-kerja jurnalistik hampir pasti terikat dengan kepentingan internal para pekerja di bidang pers, seperti perusahaannya, organisasinya, konstituennya, dan majikannya. Namun, kata Covach dan Rosentiel, kesetiaan pertama para jurnalis harus diberikan kepada masyarakat, karena hal ini merupakan konsekwensi dari perjanjian wartawan dengan publik penerima informasi yang disajikannya. Loyalitas kepada kepentingan warga masyarakat merupakan harga mati yang adalah wujud independensi jurnalistik. Independensi seorang pekerja jurnalisme diwujudkan dalam kiprahnya yang bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Dalam konteks loyalitas kepada warga ini, wartawan berkewajiban menggaungkan suara warga masyarakat yang lemah, keluh-kesah mereka yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip ketiga, yang amat sangat penting dalam melakoni kerja kewartawanan, yakni jurnalis adalah pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan harus menjadi pemantau (watchdog) terhadap segenap gerak-gerik pemerintah dalam menjalankan tugasnya, di semua level, lini, tempat, dan waktu. Wartawan juga harus menjadi pemantau terhadap semua lembaga non pemerintah yang kuat atau dominan di masyarakat. Kalangan pers harus berfungsi sebagai pengawas dan pendorong para pemimpin negara, bangsa, dan masyarakat agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, tindakan yang tidak boleh dilakukan sebagai pejabat publik atau pelayan masyarakat.
Prinsip keempat, jurnalis berkewajiban mengikuti suara nuraninya sendiri. Kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat yang menjadi ‘majikan’, yang kepada mereka kesetiaan pertama wartawan ditujukan, menjadi kunci keberhasilan seorang jurnalis melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai wartawan. Namun, kepekaan saja tidak cukup. Kepekaan itu harus diikuti keberanian untuk mengikuti suara hati nurani sang wartawan dan atau pewarta. Ia wajib berpikir, bersikap, berkata, dan bertindak sesuai suara hati nuraninya.
Prinsip kelima, semua warga memiliki hak dan tanggung jawab dalam dunia jurnalisme. Perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, telah melahirkan genre baru dalam dunia publikasi media massa. Genre jurnalisme yang melibatkan warga masyarakat biasa yang tidak lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media publikasi sendiri. Setiap orang dapat membuat dan memiliki media massa dalam bentuk blog, media online, media warga (citizen journalism), media sosial, media komunitas, dan media alternatif lainnya seperti jejaring WhatsApp Group, Komunitas WhatsApp, dan Channel WhatsApp. Ruang publikasi yang melibatkan warga secara luas itu harus difungsikan secara bertanggung jawab sebagai penyumbang pemikiran, saran dan usulan, informasi atau laporan awal, opini, dan bentuk informasi lainnya bagi kemajuan pembenahan jurnalisme di Indonesia. Warga juga bertangung jawab dalam pemantauan dan pengawasan terhadap kekuasaan, lembaga non pemerintah, dan bahkan terhadap pekerja pers itu sendiri.
Penerapan prinsip-prinsip jurnalisme di atas perlu dilakukan secara konsisten oleh setiap insan pers, baik wartawan maupun manajemen media massa lainnya, termasuk aktivis jurnalisme warga dan warganet (netizen). Usaha ini merupakan bentuk pembinaan mentalitas dan moralitas wartawan agar berperilaku sebagai sebenar-benarnya wartawan atau pewarta. Hanya dengan demikian, hasrat korupsi-kolaboratif ‘saling menguntungkan, saling melindungi’ dengan pejabat dan aparat dapat dihilangkan dalam diri wartawan, yang pada gilirannya akan menjadikan kalangan pejabat dan aparat tidak lagi melanjutkan kebiasaan korupsi karena dipantau ketat oleh para wartawan yang sudah ‘insyaf, kembali ke jalan yang benar’.
Pembenahan dapat dimulai dari penuntasan kasus PWI Cashback oleh jajaran pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang selalu koar-koar akan mengejar para koruptor hingga ke lobang tikus. Kasus PWI Cashback menjadi batu ujian pemberantasan korupsi bagi Prabowo Subianto untuk diselesaikan hingga tuntas-tas-tas-tas! Selamat Hari Anti Korupsi Dunia. (*)
Penulis adalah Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke.